Tulisan ini berawal dari pengalaman saya ketika
bekerja di salah satu perusahaan swasta yang berorientasi keselamatan dimana tidak ada toleransi terhadap keselamatan
yang notabene menjadi standarisasi perusahaan, pengalaman berharga ini saya
dapatkan ketika bekerja, dimana kebiasaan-kebiasaan yang selama ini diangap
benar ternyata tidak selamanya benar.

Suatu hari saya ditegur oleh atasan yang kebetulan orang yang berkompeten terhadap keselamatan, waktu itu kebetulan saya yang mengendarai dan disamping saya duduk atasan saya, ketika dipersimpangan ada rambu-rambu lalu lintas STOP dan ketika itu saya tidak berhenti, karena saya lihat dikiri dan kanan saya relatif aman, saat itu pula atasan menegur saya mengapa tidak berhenti karena di depan sudah ada rambu STOP tersebut. Waktu ditanya sama atasan saya mengapa tidak berhenti, jawaban saya apa yang saya lakukan merupakan suatu kebiasaan (habbit). Kejadiaannya mungkin saya anggap spele tetapi dampaknya cukup besar jika terjadi accident.
Dalam kehidupan kita sehari-hari hal yang seperti saya alami sering
sekali terjadi. Kita terlalu membenarkan banyak hal yang salah karena sudah
terbiasa dilakukan dan tidak membiasakan yang benar. Contoh lain dalam
aktifitas sehari-hari misalnya: Dalam berlalu-lintas, banyak sekali yang melanggar
aturan lalulintas seperti dengan
berjalan berlawanan arah, mengendarai sepeda motor tanpa
memakai helm, pelanggaran
lampu lalu lintas,
marka jalan, berhenti
tidak pada tempatnya dan masih banyak lagi. Semakin sering kita lihat sehingga
sudah jadi kebiasaan dengan melupakan bahwa apa yang dilakukan sebenarnya
salah.
Sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh dalam
keseharian masyarakat kita yang berpedoman pada ‘membenarkan kebiasaan’ daripada ‘membiasakan yang benar’, hampir
dalam semua aspek kehidupan.
Untuk itu saya mengajak kepada seluruh pembaca dan
tentunya diri saya sendiri untuk melakukan revolusi mental
‘membiasakan yang benar, dengan tidak membenarkan kebiasaan’.
Terima kasih